MEMBERANTAS DB: PENDEKATAN “MILITERISME”

26 11 2007

Oleh : Najamudin (Sekretaris Komisi D DPRD Kota Bogor)

img_3800.jpgMemasuki akhir tahun 2007 kita mengalami musim pancaroba,dimana antara hujan dan panas silih berganti tak menentu. Tidak bersahabatnya alam ini bukan saja menuntut kita untuk siap menghadapi cuaca yang buruk tetapi juga waspada terhadap “serangan” berbagai penyakit. Salah satu penyakit yang sering menyertai musim pancaroba adalah Demam Berdarah (DB). Kota Bogor adalah salah satu kota di Indonesia yang belum terbebas dari wabah DB. Setiap akhir tahun kita lihat di rumah sakit-rumah sakit yang ada di kota Bogor selalu “kebanjiran” pasien DB.

Demam sangat tinggi atau tidak segera menurun demamnya,bahkan untuk sebagian korban akhirnya meniggal. Itulah keganasan nyamuk aedes agypti yang kini mewabah. Yang perlu kita renungkan,kejadian ini rutin setiap tahun terutama pada akhir tahun. Kita perlu mencatat bahwa kejadian yang terus berulang sebenarnya menggambarkan adanya ketidakefektifan strategi pemberantasan yang diterapkan.

Tapi mengapa tak ada kebijakan taktis untuk memperbaiki strategi yang benar-benar efektif untuk memberantas wabah demam berdarah. Dalam kaitan ini tampaknya kita perlu bersikap tegas untuk mengevaluasi model solusi yang sudah diaplikasikan seperti 3M (menutup, menguras dan mengubur) di samping gerakan “abatesasi” dan “fogingisasi” (AF). Evaluasi ini sangat urgen kondisinya sejalan dengan realitas wabah DB yang menasional dan menelan korban dalam jumlah besar, meski tidak secara keseluruhan.

Sebenarnya model solusi 3M dan atau AF dapat di harapkan untuk menghindari penyakit DB. Tapi model solusi ini sangat tergantung pada kesadaran aplikatif semua komponen masyarakat tehadap model 3M ini karena lebih bersifat sebagai sebuah imbauan dan – di sisi lain terutama fogingisasi – sangat mengandalkan biaya besar. Harus tersedia peralatan dan jenis obatnya yang semua itu akhirnya menunggu kucuran dana pemerintah.

Tapi cukup disesalkan juga sikap masyarakat yang relatif tidak mengindahkan seruan 3M bahkan AF yang sebenarnya solutif itu, tapi tidak bijak pula jika menyalahkan seutuhnya. Pemerintah harus berjuang secara proaktif bagaimana membangun kesadaran partisipatif seluruh komponen masyarakat, tanpa mengenal strata sosial-ekonomi. Lalu apakah model 3M atau AF mampu menciptakan kesadaran partisipatif masyarakat?

Sekali lagi jika kata kuncinya mengandalkan cara imbauan,maka kerangka solusi ini tetap sulit di harapkan secara maksimal. Berarti, wabah DB tetap berpotensi terjadi. Dalam kaitan ini – didasari tinjauan lapangan ke berbagai daerah beberapa waktu lalu – barangkali tidaklah berlebihan jika kita perlu menengok model pemberantasan DB yang di kembangkan Kota Madya ParePare, Sulsel. Yaitu, model pemantauan wilayah setempat (PWS). Dasarnya, pendekatan yang dikembangkan ini mampu menihilkan korban DB dari warganya yang berjumlah sekitar 115 ribu jiwa.

Secara teoritik, PWS merupakan model pencegahan anti DB yang terencana atau terprogram, tidak hanya menghadapi suasana saat ini, tapi jauh sebelumnya, bahkan untuk masa-masa mendatang. Dalam kaitan penanggulangan DB saat ini (sedang terjadi wabah), PWS melangkah dengan strategi – pertama – memantau sarang – sarang nyamuk di manapun. Dalam prosfektif militerisme, pemantauan wilayah merupakan refleksi dari pendekatan teritorial yang di nilai sebagai potensi atau sumber persoalan.

Teritorial – dalam hal ini sarang nyamuk – cukup efektif untuk melihat inti persoalannya bahkan dapat menghitung kekuatan obyektifnya. Yang perlu kita analisis lebih jauh,model PWS – secara dini – langsung dapat membaca lokasi kekuatan “lawan” sehingga memudahkan penyerangannya dan amunisi yang harus digunakan,apakah abateasisasi atau fogingisasi. Ketepatan analisis ini praktis dapat memberikan kontribusi positif (efektifitas dan efisiensi) dalam kaitan waktu dan biaya.

Yang jauh lebih menarik, model PWS bukan hanya bersifat represif dan preventif dalam dimensi waktu temporal, misalnya saat terjadi wabah, tapi justru mencegah jauh sebelum terjadi. Artinya, pencegahannya terencana. Dengan perencanaan seperti ini, maka tak mengherankan ParePare bisa mengnihilkan korban DB, meski ada saspek (yakni titipan dari daerah lain) yang memang tidak bisa di hindari oleh daerah manapun.

Terhadap saspek yang ada, Tim PWS tidak akan terhenti disana. Mereka juga segera melakukan pemutusan mata rantai DB yang terjadi korban di daerahnya. Empat korban DB di ParePare yang kebetulan berkategori saspek, Tim segera melacak historinya mengapa sampai terkena nyamuk itu.

Dalam hal ini Tim medis atau Dinas Kesehatan ParePare memang tidak bisa berbuat leluasa karena melampaui “kedaulatan” daerah lainnya. Meski demikian dari data obyektif itu pula, pihaknya dapat meminta pemerintah propinsi untuk menerapkan aturan main sebagaimana yang dilakukan ParePare dalam kerangka membangun kesehatan masyarakat bersama. Disinilah peran penting Pemkab untuk berkoordinasi dengan Pemkab lain secara langsung melalui instansi yang lebih tinggi (propinsi).   

Ada satu hal yang perlu digarisbawahi sikap proaktif tim medis dalam menerapkan program PWS mampu membangunkan kesadaran masyarakat untuk bersama-sama menerapkan program 3M. Aksi bersama-sama itu – harus kita catat – sebagai wujud riil partisipasi masyarakat. Tak dapat disangkal, tidaklah mudah menciptakan responsi partisipasif itu. Dan karenanya kita perlu mencatat pula bahwa hasil partisipasi yang ada bukanlah bersifat “instan” yakni saat ini yang sedang di landa wabah sehingga demikian mengindahkan gerakan Tim PWS.

Realitas menunjukan,tingkat partisipasi masyarakat disana didasari dengan program yang kuat. Yaitu – sebagai strategi kedua – tim kesehatan melakukan penyuluhan dari waktu ke waktu,dari pintu ke pintu,tanpa mempedulikan lokasi mudah atau sulit dijangkau oleh kendaraan dan melibatkan banyak pihak,mulai dari Walikota sampai jajaran terendah seperti RT/RW,bahkan sejumlah tokoh masyarakat.

Yang menarik partisipasi RT/RW bahkan sejumlah tokoh masyarakat mempercepat daya tanggap Tim medis untuk melakukan hal-hal yang harus di lakukan, disamping mengantisipasinya. Tingkat partisipasi mereka juga perlu kita catat sebagai penambah Tim medis,meski mereka bukan orang kesehatan. Langkah  seperti ini – diakui kepala Dinas kesehatan ParePare,dr Arfanita – merupakan upaya menjangkau publik yang jauh lebih besar jumlahnya di banding Tim para medisnya,bahkan kadang sangat terpencil lokasinya.

Peran mereka dinilai sangat strategis dalam program sosialisasi kesehatan dengan target utama: meningkatkan kualitas kesehatannya,disamping tindakan-tindakan represif. Aneh tapi nyata kualitas partisipasi seperti RT/RW bahkan para Tim medis itu sendiri lebih didorong kesadaran kuat bagaimana menciptakan kondisi kesehatan masyarakat di daerahnya,bukan nuansa materalistik.

Dalam hal ini perlu diakui juga, Walikota ParePare dan Kepala Dinasnya berhasil membangun sistem cita  rasa komunikasi yang menyenangkan semua komponen yang terlibat, antara lain,s arapan pagi bersama Walikota sembari berbincang-bincang untuk hal-hal- yang bersifat human interest.

Dalam presfektif kesehatan penyuluhan merupakan bagian penting. Karenanya agar program itu efektif – sebagai strategi ketiga – Tim kesehatan melangkah jelas dengan berangkat dari data obyektif yang dihimpun sebelumnya dari pusat-pusat layanan kesehatan masyarakat (puskesmas).

Dari himpunan data itu terlihat lokasi-lokasi mana yang berpotensi kena penyakit DB atau jenis penyakit lainnya, berapa Tim medis yang harus dikerahkan,sarana apa yang menunjang operasi penyehatannya,dan akhirnya pemetaan lokasi (geomedic). Inilah sumber informasi yang  secara dini dapat dirancang untuk mencegah gejala wabah penyakit,disamping tetap tidak mengabaikan tindakan represif yang harus dilakukan.

Harus dicatat pula,merealisasikan program tersebut tidaklah sulit,tapi juga tidaklah mudah. Semua berangkat dari komitmen kuat dari berbagai pihak. Dalam hal ini kebetulan kota madya Parepare dan Kepala Dinas Kesehatannya punya komitmen kuat yang sama: menjadikan daerahnya sehat.

Akhir kata,penyakit rutin seperti DB idealnya dipangkas secara sistematis terencana dengan baik. Dan tidaklah berlebihan jika PWS sebagai refleksi pendekatan ”militerisme” perlu di contoh daerah-daerah lainnya. Barangkali,satu kendala yang mungkin muncul adalah sulitnya membangun komitmen bersama antara instansi medis,antara Tim kesehatan dengan kepala daerahnya,bahkan masyarakatnya apalagi daerah perkotaan. Meski demikian,contoh yang ada (daerah Parepare) dapat dijadikan faktor stimulus untuk membuktikan betapa mudahnya menghalau penyakit DB.





Retribusi Lalin Jangan Memberatkan

23 11 2007

BOGOR – Tiga perda yang terkait dengan retribusi dibidang transportasi bakal direvisi dan digabung. Ini menyusul keluarnya surat dari Dirjen Perimbangan Keuangan yang merupakan tanggapan atas surat rekomendasi dari Departemen Keuangan, yang membolehkan rencana pemkot Bogor untuk merevisi dan menggabungkan tiga perda dibidang transportasi itu menjadi satu perda.

Ketiga perda yang akan direvisi dan digabungkan itu adalah Perda No. 2 tahun 2004 tentang Retribusi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), perda No. 5 tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Perparkiran dan perda No. 11 tahun 2002 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor. Ketiganya digabung menjadi satu rancangan perda tentang Retribusi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Saat pemaparan raperda Senin, 12 November 2007, Kabag Personalia DLLAJ Suharto mengatakan bahwa latar belakang direvisinya ketiga perda itu adalah untuk mengintegralkan aturan tentang retribusi dibidang transportasi. Selama ini, tiga perda lama yang menjadi acuan DLLAJ agak merepotkan dalam implementasinya karena terpisah-pisah. Diharapkan dengan penggabungan ini, aturan tentang retribusi dibidang transportasi lebih terintegrasi dan sinergi.

Selain itu, faktor inflasi sebesar 6-7 persen dan kenaikan harga minyak bumi yang berdampak pada naiknya harga-harga kebutuhan transportasi seperti solar, cat, oli, dan lain-lain juga mempengaruhi perubahan perda ini.

Suharto juga menjelaskan bahwa perubahan peraturan di tingkat pusat (seperti pengenaan sticker tanda uji samping kendaraan) dan adanya beberapa kegiatan di bidang transportasi yang sudah layak untuk dipungut menjadi pertimbangan kenapa perda ini direvisi.

Kita sambut baik inisiatif pemkot (c.q Dinas LLAJ) untuk melakukan revisi dan penggabungan perda-perda ini. Namun tentu saja dengan beberapa catatan yang harus diperbaiki di sana-sini, terutama pasal-pasal yang menimbulkan multitafsir, memberatkan masyarakat dan bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi serta merugikan kepentingan umum.

Pasal-Pasal Perdebatan

Sebelum membahas pasal-pasal dalam raperda ini ada baiknya kita menyimak pernyataan yang disampaikan salah seorang stackholder, Rudy Thehamihardja. Seorang pengusaha pemilik PO Bis dan anggota DPP Organda. Ia mengatakan persoalan yang cukup mendasar yaitu apa dasar yang bisa dipertanggungjawabkan sehingga tarif retribusi ini naik? Pelayanan apa yang bisa diberikan oleh pemerintah setelah retribusi naik? Apakah keadaan akan semakin baik atau tidak setelah kenaikan ini disepakati?

Pertanyaan ini layak diajukan sebelum menyetujui sebuah raperda yang judulnya retribusi. Karena jangan sampai pemkot hanya berorientasi pada pendapatan asli daerah (PAD) atau lebih dikenal dengan rent seeker, sementara mengabaikan pelayanan yang wajib diberikan kepada publik.

Dasar kenaikan tarif memang tidak tercantum dalam pasal-pasal di raperda ini. Bagaimana rumusannya sehingga keluar angka sekian rupiah dari tarif-tarif yang ditetapkan tidak terdapat dalam raperda ini, sehingga wajar jika ada yang mempertanyakan darimana besaran tarif tersebut ditetapkan? Apa landasan kenaikan tersebut? Agaknya ini menjadi pe-er (pekerjaan rumah –pen) untuk DLLAJ Kota Bogor. Misalnya dalam pasal 7 angka (5) tentang penggantian buku uji dan tanda uji yang hilang atau rusak ditetapkan retribusi sebesar Rp. 50 ribu untuk buku uji dan Rp 30 ribu untuk tanda uji (satu pasang) per kendaraan, padahal di propinsi Jawa Barat hanya dikenakan tarif Rp 12.500 per kendaraan. Kenaikan hingga 400% ini darimana hitungannya?

Parkir di Tepi Jalan Umum

Pasal 6 raperda ini mengatur tentang tarif retribusi parkir di tepi jalan umum. Tarifnya pun dibedakan antara jalan umum biasa dan jalan umum rawan kemacetan. Untuk tarif yang disebutkan terakhir jelas lebih tinggi. Pengenaan besaran tarifnya bisa sampai dua kali lipat. Misalnya untuk truk gandeng atau kontainer yang parkir di jalan biasa dikenakan tarif Rp 5.500 per kendaraan, sedangkan jika parkir di jalan rawan macet dikenakan Rp 11.000 per kendaraan. Demikian juga untuk jenis kendaraan lainnya seperti angkutan boks, sedan, jip, minibus, pickup hingga sepeda motor dikenakan kelipatannya jika parkir di jalan rawan macet. Selain itu, tarif yang terlalu tinggi untuk kendaraan umum dibanding kendaraan pribadi beresiko menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy).

Yang jadi pertanyaan adalah darimana para pengguna jalan tahu bahwa mereka parkir di jalan biasa atau jalan rawan macet? Sementara tidak ada petunjuk sama sekali di tepi jalan di Kota Bogor yang menunjukkan jenis-jenis tarif parkir di tepi jalan umum itu. Kemudian apakah mengutip retribusi parkir pada jalan rawan macet itu benar atau lebih baik meniadakan parkir sama sekali dan membangun trotoar yang lebih nyaman dipusat-pusat bisnis?

Belum lagi faktor keamanan saat kendaraan diparkir di tepi jalan umum tidak memberikan jaminan sama sekali. Malah sering kita temukan tulisan di karcis parkir “Kehilangan barang/ benda berharga menjadi tanggungjawab pemilik kendaraan”. Nah lho? Jika faktor keamanan bukan menjadi salah satu bentuk pelayanan yang diberikan kepada pemiliki kendaraan, lantas jasa apa yang bisa diberikan kepada pemilik kendaraan?

Retribusi Terminal

Pasal 8 raperda ini mengatur tentang tarif retribusi terminal. Pasal ini pun mengundang perdebatan karena menjadikan lahan terminal menjadi lahan parkir kendaraan umum. Wajar saja jika seorang pengusaha bis dari PO Limas yang berasal dari Kota Bogor mempertanyakan aturan ini. Kenapa harus ada fasilitas parkir kendaraan angkutan umum di terminal? Bukankah fungsi terminal sebagai pelayanan penumpang dan tempat transfer antar moda, ujarnya penuh tanya.

Selain menyalahi fungsi terminal, pengenaan tarif parkir kendaraan umum di terminal akan mendorong pengusaha bis untuk memarkir bis mereka di terminal-terminal tanpa ada keharusan untuk kembali ke poll bis masing-masing. Padahal ada larangan bagi bis untuk bermalam di terminal. Bis hanya bisa masuk terminal dua jam sebelum pemberangkatan.

Soal besaran tarif pun dirasa memberatkan. Untuk kendaraan dengan kapasitas 26-60 penumpang dikenakan Rp 3.000 per kendaraan untuk satu jam pertama. Penambahan satu jam berikutnya dikenakan Rp 1.000 per kendaraan. Jika sebuah bis butuh waktu 7 jam parkir untuk bisa berangkat pada jam pertama (sekitar jam 4.30 pagi) dari terminal, maka dibutuhkan biaya sekitar Rp 10.000 per kendaraan per malam. Belum lagi biaya-biaya siluman lainnya. Sudah pasti biaya-biaya tadi akan dibebankan kepada penumpang bis.

Terkait tarif masuk terminal juga dikeluhkan oleh angkot nomor 12 jurusan Cimanggu-Pasar Anyar karena menurut penuturan anggota KKSU 12, jalur angkot mereka tidak memasuki terminal tetapi tetap ditarik retribusi terminal Rp 1.000 per hari per kendaraan.

Izin Trayek

Izin trayek diatur dalam pasal 12 raperda ini. Dalam rancangan perda diatur tentang tarif izin usaha kendaraan tidak bermotor untuk becak dan delman. Tarifnya pun cukup mahal. Untuk becak untuk izin operasi dipungut Rp 24.000 per becak per tahun. STNK becak Rp 25.000 per becak per lima tahun dan SIM becak Rp 15.000 per pengemudi per lima tahun. Jadi total uang yang harus dikeluarkan pengusaha becak agar bisa beroprasi sekitar Rp 64.000. Suatu jumlah yang lumayan wah bagi seorang pengemudi becak. Demikian juga dengan delman dikenakan tarif yang sama. Hanya yang jadi pertanyaan adalah mengapa ojek motor/sepeda tidak dikenakan tarif juga?

Namun demikian, pengenaan tarif retribusi untuk becak dan delman ini, konon akan didrop dari raperda ini guna menghindari kontroversi lebih jauh. Syukurlah jika memang itu terjadi. Karena memang tidak sepantasnya kedua moda transportasi itu dikenakan tarif demikian mahal. [imngrh]

iman-nugraha.net





17 Raperda Disepakati Jadi Prolegda 2008

21 11 2007

iman-nugraha.net

CIPANAS – Sebanyak 18 rancangan peraturan daerah (raperda) hari ini disepakati oleh panitia legislasi (panleg) DPRD Kota Bogor dan pemerintah kota Bogor menjadi program legislasi daerah (prolegda) tahun 2008. Meski diramaikan dengan dua perhelatan politik (pilgub dan pilwako), namun hajat politik tersebut tidak menghalangi niatan dewan untuk menyelesaikan ke-18 raperda itu.

Ke-18 raperda tersebut merupakan hasil pembahasan terhadap usulan-usulan raperda yang diajukan oleh pemerintah kota dan DPRD Kota Bogor. Pemkot mengusulkan 12 raperda yaitu,

  1. Raperda Pembagian Urusan Pemerintahan (PP 38/2007)
  2. Raperda Organisasi Perangkat Daerah (PP 41/2007)
  3. Raperda LP APBD 2007
  4. Raperda Perubahan APBD 2008
  5. Raperda APBD 2009
  6. Raperda Perusahaan Daerah Pasar
  7. Raperda Penyelenggaraan Kependudukan
  8. Raperda RPJP
  9. Raperda Retribusi Pemakaman Dan Pengabuan Mayat
  10. Raperda Izin Pendirian Menara/Tower
  11. Raperda Pedoman Pemberian Nama Jalan
  12. Raperda Perizinan Perdagangan (PP 36/2007)

Sedangkan DPRD Kota Bogor mengusulkan 4 raperda yaitu,

  1. Perda Pendirian Perusahaan Daerah Pasar
  2. Perda Ketentuan Umum Dan Tata Cara Pajak Daerah
  3. Perda Pembangunan Partisipasi
  4. Perda Transparansi (Pemerintahan yang Baik)

Dalam pembahasan yang dilaksanakan di hotel Prameshwari, Cipanas, Cianjur, itu akhirnya disepakati 18 raperda yang masuk dalam prolegda tahun 2008 sebagai berikut:

Prolegda tahun 2008

  1. Raperda LP APBD 2007
  2. Raperda Perubahan APBD 2008
  3. Raperda APBD 2009
  4. Raperda Pembagian Kewenangan dan Urusan Pemerintahan
  5. Raperda Organisasi Perangkat Daerah
  6. Raperda Pembentukan Perusahaan Daerah Pasar
  7. Raperda RPJP
  8. Raperda Perubahan Perda Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk
  9. Raperda Perubahan Perda Retribusi Biaya Cetak dan Pelayanan Kependudukan
  10. Raperda Izin Pemanfaatan Ruang
  11. Raperda Penyelenggaraan Pendidikan
  12. Raperda Ketentuan Umum dan Tata Cara Pajak Daerah
  13. Raperda Transparansi (Pemerintahan yang Baik)
  14. Raperda Pembangunan Partisipasi
  15. Raperda Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat
  16. Raperda Izin Pendirian Menara/Tower
  17. Raperda Penyelenggaraan Zakat

[imngrh]





Terkait Kenaikan Nilai Standar dan Penambahan Soal UN, Siswa Cemas Hadapi UN

20 11 2007

Radar Bogor, 13-11-2007 04:36 WIB

BOGOR – Rencana pemerintah yang akan menaikkan nilai standar kelulusan ujian nasional (UN) menjadi 5,25, menjadi momok bagi siswa. Karena selain standarnya dinaikkan, mata pelajaran yang akan di UN-kanpun bertambah. Untuk tingkat SMP, dari tiga mata pelajaran (mapel) yakni Bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika, dan untuk tahun depan akan ditambah dengan mapel IPA.

Sementara itu, di tingkat SMA, mapel dalam UN menjadi enam, dengan penambahan berbeda-beda di kelas IPA dan IPS. Untuk IPA, akan ditambah Fisika, Biologi, dan Kimia. Sementara IPS ditambah Sosiologi, Geografi, dan Ekonomi. Khusus untuk SMK, ditambah dengan mapel sesuai spesialisasi yang ada di SMK tersebut.Hal itulah yang membuat siswa mulai risau. Seperti halnya yang dirasakan siswi SMA YZA 2, Rustikawati, Ia mengaku takut dan khawatir dengan nilai standar kelulusan yang dinaikan menjadi 5,25. Karena menurutnya, nilai standar tersebut terbilang cukup tinggi, belum lagi dengan mapel yang ditambah. Tika saat ini mengambil program IPA dan berarti akan mengerjakan soal Fisika, Biologi dan Kimia. “Saya lemah dalam mapel Kimia, jadi jika soal UN ditambah, saya takut nanti nilai saya jatuh pada soal tersebut. Belum lagi dengan tiga mapel sebelumnya, saya sedikit lemah dalam bahasa Inggris. Jadi perasaan takut tidak lulus selalu menghantui pikiran,” ujar Tika.

Selain itu, kata dia, orangtuanya pun sangat khawatir. “Saat ini orangtua lebih disiplin dan lebih ketat memantau apa yang saya dilakukan. Tentu ini juga menjadi beban bagi saya. Orang tua di rumah yang saat ini lebih protektif terhadap apa yang saya lakukan dan selalu menyuruh saya untuk belajar terus,” ungkapnya.

Hal serupa dirasakan siswi SMPN 8 Bogor, Ratu Kurohnia, yang mengaku merasa cemas dengan kenaikan standar UN tersebut. Belum lagi dengan soal UN yang ditambah dengan IPA. Karena Ia mengaku tak terlalu menguasai mapel IPA terutama Fisika dan Kimia. “Saya takut nilai Fisika dan Kimia jadi nilai penentu ketidaklulusan saya. Padahal jika soal tidak ditambah saya yakin lulus 100 persen, namun dengan adanya penambahan mapel UN saya takut tidak lulus,” ujarnya dengan nada pasrah.

Menurutnya, UN jangan dijadikan patokan kelulusan untuk SMP. Karena jika tidak lulus tentu program wajib belajar sembilan tahun akan terhenti hanya karena ada salah satu mapel yang nilainya dibawah standar. Namun sedikitnya sekolah sudah memberikan hal yang terbaik yakni dengan mengadakan les tambahan dan mengadakan tes untuk empat soal yang akan di-UN-kan.

Mengenai penambahan jam belajar dilakukan pula di SMA YZA 2 dan SMK YZA 4. “Penambahan jam belajar sudah diberlakukan awal masuk tahun ajaran baru. Tak hanya itu sekolah juga mengadakan pengayaan serta menambah wawasan siswa,” ujar Kepala SMK YZA 4 Bogor, Mulya Murprihartono saat ditemui diruangannya, kemarin. Menurut Mulya, kenaikan UN merupakan hak pemerintah. Hanya saja semua harus sudah jelas dan perlu dipersiapkan dengan matang. Apalagi dengan nilai kelulusan yang cukup tinggi, untuk itu validasi soal UN harus mencerminkan kompetensi yang diberikan dan soal harusnya sesuai dengan apa yang dipelajari siswa. Karena kenaikan ini selain membuat kekhawatiran pada siswa dan guru serta kepsek juga menjadi kekhawatiran orangtua siswa.

“Kalau bisa, khusus untuk sekolah kejuruan UN tersebut tidak dijadikan sebagai patokan kelulusan siswa. Karena untuk kejuruan sekolah lebih memahami dan mengerti kemampuan siswa sebenarnya. Jangan hanya karena satu mata pelajaran yang di-UN-kan dan siswa tidak lulus. Itu merupakan suatu kerugian selain bagi siswanya sendiri juga bagi orangtuanya,” terangnya.

Tak jauh beda dengan Mulya, Kepala SMA YZA 2, Liliek Rahmaningsih, juga merasa khawatir siswanya nanti banyak yang tidak lulus. Tapi untuk mengantisipasi hal itu, sekolah sudah melakukan berbagai cara yakni dengan mengadakan try out, les tambahan dan penambahan jam mata pelajaran yang di-UN-kan. Selain itu, sekolah juga mengadakan klasifikasi dan mengurutkan siswa yang tertinggal dalam pelajaran terutama siswa dengan nilai kurang dengan memberikan perhatian khusus yakni memberikan bimbingan mata pelajaran yang dianggap sulit oleh siswa tersebut. “Sekolah dalam hal ini harus berperan aktif, salah satunya dengan pemberian tambahan pelajaran terutama bagi siswa yang nilainya tertinggal. Namun meski sekolah sudah berusaha tapi siswanya tak mau berusaha, ya semuanya jadi percuma. Untuk itu dalam hal ini kerjasama antara siswa dan sekolah sangatlah penting guna menekan angka ketidak lulusan nantinya,” tukasnya.

Sementara itu menurut Sekretaris Komisi D Najamudin, merupakan hal yang lumrah, apalagi kenaikan nilai standar kelulusan jauh dari perkiraan. “Yang penting, kekhawatiran ini tidak disikapi secara berlebihan oleh sekolah karena akan berdampak negatif terhadap mental para siswa. Karenanya, kebijakan pusat ini harus jadi support dan tantangan bagi pemkot terutama dinas pendidikan (disdik),” jelasnya.

Selain tantangan, disdik, para kepala sekolah dan guru harus punya komitmen bersama dalam merealisasikan target pemerintah tersebut. Sehingga hasil kelulusan UN tahun ajaran 2006-2007, yang ternyata lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya harus terus dilakukan bahkan diperkuat dan ditingkatkan lagi.

“Jika sebelumnya telah ada program atau strategi belajar yang bagus, maka hal ini bisa dilakukan kembali ditambah penguatan-penguatan atau dengan istilah komitmen voltase dan penambahan pola pembelajaran maupun strategi khusus,” tukasnya.

Support kuat dari disdik, kata dia, akan menimbulkan respon positif yang seimbang dari kepsek agar passinggrade kelulusan bisa tercapai dan profesionalisme guru bisa terfokus sesuai kurikulum yang ada. Tahapan-tahapan pembelajaran, lanjut Naja, harus dilalui para siswa agar mereka bisa lebih memahami proses dari sekadar hasil. “Kami sangat mengharamkan upaya-upaya mencapai standar nilai kelulusan dengan jalan pintas. Jangan sampai apa yang telah terjadi di daerah tertentu dilakukan oleh siswa atau sekolah di kota Bogor,” tandasnya.

Senada dengan Najamudin, Anggota Komisi D Rizal Barnadi mengungkapkan bahwa kenaikan standar kelulusan harus memicu semua sekolah, khususnya disdik untuk mempersiapkannya agar siswa-siswa di kota Bogor bisa mencapai standar tersebut.  Ia juga mengimbau setiap sekolah memiliki inovasi dalam pembelajaran maupun pengayaan kepada para siswa, tidak sekadar mengerjakan atau membahas soal-soal yang akan diujikan tapi bagaimana proses memahami dan menyelesaikan sebuah materi pelajaran, terutama yang akan menjadi materi UN.(nel/pia)





PPNS Perlu Penguatan Lembaga

20 11 2007

Radar Bogor, 08-11-2007 01:37 WIB

 

KAPTEN MUSLIHAT – Peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) belum berfungsi secara optimal, karena belum ada perangkat kelembagaan. Hal itulah yang mempengaruhi penerapan dan penegakan Perda di Kota Bogor. Demikian ditegaskan Anggota Pansus Raperda PPNS Ani Sumarni, kepada Radar Bogor kemarin. Menurutnya, keberadaan PPNS yang berada di masing-masing dinas tidak mampu menerapkan objek-objek perda yang ada sesuai keahlian.“Karena itu, dibutuhkan penguatan pada sisi lembaga dan keahlian dari setiap petugas PPNS. Termasuk sinergitas dengan Satpol PP dalam hal penegakan perda,” tandasnya. Ia juga mengatakan, agar PPNS bisa berperan optimal maka diperlukan payung hukum untuk mengatur keberadaan PPNS yang selama ini tidak berjalan efektif dan perdapun terlihat mandul. “Kami dari pansus sedang membidik PPNS untuk menyusun Perda pada masa persidangan ketiga, agar bisa dipadukan dalam satu kelembagaan, meskipun peraturan Depdagri belum memungkinkan. Fungsi PPNS tidak optimal karena lembaganya lemah,” bebernya.

Tetapi, lanjut dia, Daerah Istimewa Jogjakarta sudah mempunyai terobosan dalam memfungsikan keberadaan PPNS dan Kota Bogor bisa memulainya sebagai bentuk otonomi daerah.
Sementara itu, Anggota Pansus PPNS yang lain, Fauzi Sutopo mengusulkan agar PPNS bisa satu atap dengan Satpol PP. “Selama ini, keberadaan 80 PPNS di setiap dinas tidak berfungsi efektif karena ada unsur sesamateman sulit atau serba salah untuk menegakkan perda karena lembaga yang ditegur berada di atas lembaga PPNS misalnya. Sehingga tak hanya lembaganya dipadukan, petugas PPNS pun harusnya eselon II bukan eselon IV agar tidak terjadi kendala dalam melanjutkan proses hukum,” jelasnya.(pia)