Oleh : Najamudin (Sekretaris Komisi D DPRD Kota Bogor)
Memasuki akhir tahun 2007 kita mengalami musim pancaroba,dimana antara hujan dan panas silih berganti tak menentu. Tidak bersahabatnya alam ini bukan saja menuntut kita untuk siap menghadapi cuaca yang buruk tetapi juga waspada terhadap “serangan” berbagai penyakit. Salah satu penyakit yang sering menyertai musim pancaroba adalah Demam Berdarah (DB). Kota Bogor adalah salah satu kota di Indonesia yang belum terbebas dari wabah DB. Setiap akhir tahun kita lihat di rumah sakit-rumah sakit yang ada di kota Bogor selalu “kebanjiran” pasien DB.
Demam sangat tinggi atau tidak segera menurun demamnya,bahkan untuk sebagian korban akhirnya meniggal. Itulah keganasan nyamuk aedes agypti yang kini mewabah. Yang perlu kita renungkan,kejadian ini rutin setiap tahun terutama pada akhir tahun. Kita perlu mencatat bahwa kejadian yang terus berulang sebenarnya menggambarkan adanya ketidakefektifan strategi pemberantasan yang diterapkan.
Tapi mengapa tak ada kebijakan taktis untuk memperbaiki strategi yang benar-benar efektif untuk memberantas wabah demam berdarah. Dalam kaitan ini tampaknya kita perlu bersikap tegas untuk mengevaluasi model solusi yang sudah diaplikasikan seperti 3M (menutup, menguras dan mengubur) di samping gerakan “abatesasi” dan “fogingisasi” (AF). Evaluasi ini sangat urgen kondisinya sejalan dengan realitas wabah DB yang menasional dan menelan korban dalam jumlah besar, meski tidak secara keseluruhan.
Sebenarnya model solusi 3M dan atau AF dapat di harapkan untuk menghindari penyakit DB. Tapi model solusi ini sangat tergantung pada kesadaran aplikatif semua komponen masyarakat tehadap model 3M ini karena lebih bersifat sebagai sebuah imbauan dan – di sisi lain terutama fogingisasi – sangat mengandalkan biaya besar. Harus tersedia peralatan dan jenis obatnya yang semua itu akhirnya menunggu kucuran dana pemerintah.
Tapi cukup disesalkan juga sikap masyarakat yang relatif tidak mengindahkan seruan 3M bahkan AF yang sebenarnya solutif itu, tapi tidak bijak pula jika menyalahkan seutuhnya. Pemerintah harus berjuang secara proaktif bagaimana membangun kesadaran partisipatif seluruh komponen masyarakat, tanpa mengenal strata sosial-ekonomi. Lalu apakah model 3M atau AF mampu menciptakan kesadaran partisipatif masyarakat?
Sekali lagi jika kata kuncinya mengandalkan cara imbauan,maka kerangka solusi ini tetap sulit di harapkan secara maksimal. Berarti, wabah DB tetap berpotensi terjadi. Dalam kaitan ini – didasari tinjauan lapangan ke berbagai daerah beberapa waktu lalu – barangkali tidaklah berlebihan jika kita perlu menengok model pemberantasan DB yang di kembangkan Kota Madya ParePare, Sulsel. Yaitu, model pemantauan wilayah setempat (PWS). Dasarnya, pendekatan yang dikembangkan ini mampu menihilkan korban DB dari warganya yang berjumlah sekitar 115 ribu jiwa.
Secara teoritik, PWS merupakan model pencegahan anti DB yang terencana atau terprogram, tidak hanya menghadapi suasana saat ini, tapi jauh sebelumnya, bahkan untuk masa-masa mendatang. Dalam kaitan penanggulangan DB saat ini (sedang terjadi wabah), PWS melangkah dengan strategi – pertama – memantau sarang – sarang nyamuk di manapun. Dalam prosfektif militerisme, pemantauan wilayah merupakan refleksi dari pendekatan teritorial yang di nilai sebagai potensi atau sumber persoalan.
Teritorial – dalam hal ini sarang nyamuk – cukup efektif untuk melihat inti persoalannya bahkan dapat menghitung kekuatan obyektifnya. Yang perlu kita analisis lebih jauh,model PWS – secara dini – langsung dapat membaca lokasi kekuatan “lawan” sehingga memudahkan penyerangannya dan amunisi yang harus digunakan,apakah abateasisasi atau fogingisasi. Ketepatan analisis ini praktis dapat memberikan kontribusi positif (efektifitas dan efisiensi) dalam kaitan waktu dan biaya.
Yang jauh lebih menarik, model PWS bukan hanya bersifat represif dan preventif dalam dimensi waktu temporal, misalnya saat terjadi wabah, tapi justru mencegah jauh sebelum terjadi. Artinya, pencegahannya terencana. Dengan perencanaan seperti ini, maka tak mengherankan ParePare bisa mengnihilkan korban DB, meski ada saspek (yakni titipan dari daerah lain) yang memang tidak bisa di hindari oleh daerah manapun.
Terhadap saspek yang ada, Tim PWS tidak akan terhenti disana. Mereka juga segera melakukan pemutusan mata rantai DB yang terjadi korban di daerahnya. Empat korban DB di ParePare yang kebetulan berkategori saspek, Tim segera melacak historinya mengapa sampai terkena nyamuk itu.
Dalam hal ini Tim medis atau Dinas Kesehatan ParePare memang tidak bisa berbuat leluasa karena melampaui “kedaulatan” daerah lainnya. Meski demikian dari data obyektif itu pula, pihaknya dapat meminta pemerintah propinsi untuk menerapkan aturan main sebagaimana yang dilakukan ParePare dalam kerangka membangun kesehatan masyarakat bersama. Disinilah peran penting Pemkab untuk berkoordinasi dengan Pemkab lain secara langsung melalui instansi yang lebih tinggi (propinsi).
Ada satu hal yang perlu digarisbawahi sikap proaktif tim medis dalam menerapkan program PWS mampu membangunkan kesadaran masyarakat untuk bersama-sama menerapkan program 3M. Aksi bersama-sama itu – harus kita catat – sebagai wujud riil partisipasi masyarakat. Tak dapat disangkal, tidaklah mudah menciptakan responsi partisipasif itu. Dan karenanya kita perlu mencatat pula bahwa hasil partisipasi yang ada bukanlah bersifat “instan” yakni saat ini yang sedang di landa wabah sehingga demikian mengindahkan gerakan Tim PWS.
Realitas menunjukan,tingkat partisipasi masyarakat disana didasari dengan program yang kuat. Yaitu – sebagai strategi kedua – tim kesehatan melakukan penyuluhan dari waktu ke waktu,dari pintu ke pintu,tanpa mempedulikan lokasi mudah atau sulit dijangkau oleh kendaraan dan melibatkan banyak pihak,mulai dari Walikota sampai jajaran terendah seperti RT/RW,bahkan sejumlah tokoh masyarakat.
Yang menarik partisipasi RT/RW bahkan sejumlah tokoh masyarakat mempercepat daya tanggap Tim medis untuk melakukan hal-hal yang harus di lakukan, disamping mengantisipasinya. Tingkat partisipasi mereka juga perlu kita catat sebagai penambah Tim medis,meski mereka bukan orang kesehatan. Langkah seperti ini – diakui kepala Dinas kesehatan ParePare,dr Arfanita – merupakan upaya menjangkau publik yang jauh lebih besar jumlahnya di banding Tim para medisnya,bahkan kadang sangat terpencil lokasinya.
Peran mereka dinilai sangat strategis dalam program sosialisasi kesehatan dengan target utama: meningkatkan kualitas kesehatannya,disamping tindakan-tindakan represif. Aneh tapi nyata kualitas partisipasi seperti RT/RW bahkan para Tim medis itu sendiri lebih didorong kesadaran kuat bagaimana menciptakan kondisi kesehatan masyarakat di daerahnya,bukan nuansa materalistik.
Dalam hal ini perlu diakui juga, Walikota ParePare dan Kepala Dinasnya berhasil membangun sistem cita rasa komunikasi yang menyenangkan semua komponen yang terlibat, antara lain,s arapan pagi bersama Walikota sembari berbincang-bincang untuk hal-hal- yang bersifat human interest.
Dalam presfektif kesehatan penyuluhan merupakan bagian penting. Karenanya agar program itu efektif – sebagai strategi ketiga – Tim kesehatan melangkah jelas dengan berangkat dari data obyektif yang dihimpun sebelumnya dari pusat-pusat layanan kesehatan masyarakat (puskesmas).
Dari himpunan data itu terlihat lokasi-lokasi mana yang berpotensi kena penyakit DB atau jenis penyakit lainnya, berapa Tim medis yang harus dikerahkan,sarana apa yang menunjang operasi penyehatannya,dan akhirnya pemetaan lokasi (geomedic). Inilah sumber informasi yang secara dini dapat dirancang untuk mencegah gejala wabah penyakit,disamping tetap tidak mengabaikan tindakan represif yang harus dilakukan.
Harus dicatat pula,merealisasikan program tersebut tidaklah sulit,tapi juga tidaklah mudah. Semua berangkat dari komitmen kuat dari berbagai pihak. Dalam hal ini kebetulan kota madya Parepare dan Kepala Dinas Kesehatannya punya komitmen kuat yang sama: menjadikan daerahnya sehat.
Akhir kata,penyakit rutin seperti DB idealnya dipangkas secara sistematis terencana dengan baik. Dan tidaklah berlebihan jika PWS sebagai refleksi pendekatan ”militerisme” perlu di contoh daerah-daerah lainnya. Barangkali,satu kendala yang mungkin muncul adalah sulitnya membangun komitmen bersama antara instansi medis,antara Tim kesehatan dengan kepala daerahnya,bahkan masyarakatnya apalagi daerah perkotaan. Meski demikian,contoh yang ada (daerah Parepare) dapat dijadikan faktor stimulus untuk membuktikan betapa mudahnya menghalau penyakit DB.
Komentar Terbaru